Minggu, 31 Maret 2013

Sistem Penanganan Kartel

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tampak tak main-main dengan amanat yang diembannya. KPPU menunjukkan keseriusan memerangi bentuk-bentuk praktik persaingan usaha yang tidak sehat, seperti kartel. Keseriusan tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan KPPU, yaitu membuat sistem penanganan persaingan usaha tidak sehat yang terintegrasi ke dalam integrated justice system. KPPU menilai sistem ini sangat efektif untuk mewujudkan sistem persaingan usaha yang sehat, secara khusus membongkar kartel. Soalnya, penegak hukum lain seperti Kepolisian Republik Indonesia,Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) bersatu dan bersama-sama membongkar kasus yang merugikan publik.
“Sinergitas antar lembaga penegak hukum sangat penting dalam penegakan hukum persaingan usaha karena aspek persaingan usaha sangat kuat hubungannya dengan aspek-aspek lainnya, seperti pidana,” ucap Ketua KPPU Nawir Messi di sebuah seminar di Jakarta, (26/3). Karena bersinggungan dengan aspek selain persaingan usaha, KPPU melihat institusi ini tidak dapat bekerja sendiri. KPPU harus bekerja sama dengan para penegak hukum lain untuk menyelesaikan persoalan kasus kartel atau praktik persaingan usaha tidak sehat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata Nawir, hanya memberikan kewenangan kepada KPPU untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar. Aspek penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran pasal-pasal pidana atas kartel dan persekongkolan pengadaan barang dan jasa tentu membutuhkan kepolisian dan kejaksaan. Informasi dan bukti awal berasal dari KPPU. Lebih lanjut, Nawir menampik integrated justice system ini dibuat karena kelemahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Nawir mengatakan tidak perlu mengubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini untuk mendapatkan kewenangan yang luas. Ia melihat suatu aturan perundang-undangan itu kuat dan tidak persoalan pentingnya terletak pada pelaksanaannya.

“Tidak ada undang-undang yang sempurna. Hal yang penting adalah undang-undang yang ada ini dilaksanakan dengan sebaiknya-baiknya. Dan, penegakan antarlembaga sangat diperlukan,” jawabnya tegas. Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum Widyo Pramono mengatakan sangat tertarik dengan ide sinergitas antar lembaga penegak hukum ini. “Tinggal pelatuknya mau diarahkan kemana,” ucapnya dalam kesempatan yang sama, (26/3).
Widyo juga sepakat dengan Nawir yang mengatakan bahwa undang-undang itu tidak ada yang sempurna karena undang-undang itu buatan manusia sendiri. Untuk itu, dengan bersama-sama, penanganan kasus akan menjadi lebih efektif dan efisien. Menurutnya, komitmen dan konsisten akan penegakan hukum adalah hal yang terpenting.
Widyo juga telah membayangkan jika penguatan ini terjadi, pelaku usaha curang tidak dapat berkutik. Data yang diperlukan dalam penegakan hukum lengkap. Sebut saja, KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha tidak sehat mencium adanya praktik curang yang dilakukan. KPPU akan menindaklanjutinya hingga penjatuhan sanksi administratif kepada pelaku usaha.Jika mengandung unsur pidana, KPPU dapat menyerahkan berkas-berkas yang telah lengkap tadi ke kepolisian. Kepolisian akan menindaklanjuti dan menyempurnakan kelengkapan berkas. Jika dari kepolisian telah lengkap, Kejaksaan akan menerima berkas tersebut tanpa harus bolak-balik lagi ke kepolisian untuk melengkapi berkas-berkas.
Terkait dengan sinergitas antarlembaga, Kepolisian juga sangat sepakat dengan Widyo dan Nawir. Bukti persetujuannya telah terlihat sejak 2010 silam, yaitu memorandum of understandingyang dijalin sejak 2010. Kepolisian dan KPPU sepakat untuk tukar menukar informasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal pengetahuan di bidang persaingan usaha tidak sehat ini. “Saya sepakat dengan integrated justice system ini. Tinggal mau dibidik kemana penyelesaian kasusnya,” pungkasnya.

Senin, 25 Maret 2013

Kepercayaan Publik Terhadap Badan Peradilan

Kepercayaan publik terhadap pelaksanaan reformasi badan peradilan yang tengah bergulir sejak awal tahun 2000-an dinilai masih lemah. Hal ini disebabkan masih banyak ditemukan putusan pengadilan yang dinilai aneh dan menimbulkan kecurigaan di masyarakat, sehingga dukungan publik terhadap reformasi peradilan pun menjadi lemah. “Setelah melaksanakan reformasi peradilan lebih dari 12 tahun, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan masih lemah, meski lebih baik ketimbang zaman orde lama dan orde baru,” kata mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Refleksi dan Arah Pembaruan Peradilan Indonesia’ di Jakarta, (25/3).
Arman, demikian ia biasa disapa, mengatakan, berbagai putusan aneh itu dapat memunculkan kecurigaan adanya motif korupsi di balik penjatuhan putusan itu. Mahkamah Agung ( MA ) seharusnya segera menyikapi persoalan ini dengan cara mengoptimalkan fungsi pengawasan dan pembinaan. Dia meminta putusan yang dijatuhkan karena motif koruptif harus dibongkar dan ditindak tegas dengan seluruh jaringannya. Sedangkan untuk putusan aneh yang diakibatkan kurangnya penguasaan terhadap substansi hukum harus diatasi dengan berbagai pelatihan atau kursus “Ini usaha yang never ending,” kata Abdul Rahman. Menurutnya, lemahnya dukungan publik bukan hal yang menentukan terhadap misi reformasi peradilan untuk mewujudkan peradilan yang profesional, jujur dan imparsial. Sebab, ‘publik’ itu tidak homogen atau seragam yang mempunyai banyak kepentingan lain. Meski begitu, adanya dukungan publik akan lebih memudahkan jalannya reformasi peradilan. “Kita semua mengharapkan agar peran media massa akan terus mendorong, menjaga, dan mengawal pembaruan peradilan, meski kita sadar media kadangkala terkotak-kotak dalam warna politik tertentu,” kata Arman yang juga mantan hakim agung ini. Karenanya, MA harus terus membuka diri terhadap masukan segar yang membangun dari pihak luar. MA pun harus melibatkan diri diskursus besar, masif dan berskala nasional dalam mendorong reformasi peradilan guna mewujudkan peradilan yang bersih, jujur, adil dan berwibawa terutama melalui landmark decision (putusan penting). “Ini dibutuhkan kerja dan tekad yang tidak ada akhirnya agar keadaan dunia peradilan semakin membaik. Ikhtiar bersama untuk tetap menjaga peradilan yang bersih harus tetap dirawat,” sarannya.
Di acara yang sama, mantan Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan dukungan publik terhadap jalannya reformasi peradilan harus diperjuangkan oleh para aparat peradilan sendiri. “Dukungan publik itu tidak bisa datang sendiri tanpa ada upaya para hakim sendiri,” katanya. Menurutnya, untuk meraih dukungan publik ini yang pertama dilakukan para hakim harus menjaga integritas dan perilakunya yang diwujudkan dengan sikap yang bersih, jujur, adil, dan profesional. Sebab, sikap bersih dan jujur ini masih menjadi barang langka di lembaga peradilan. Independensi hakim dinilai belum sepenuhnya terwujud karena masih ada hakim yang masih menerima suap terkait perkara yang ditangani. Kalau sikap ini bisa dilakukan seluruh aparat peradilan, saya kira dukungan publik akan datang sendirinya,” kata Harifin.
Dia menceritakan saat masih menjabat sebagai ketua MA, ada laporan dari masyarakat yang memprotes sebuah putusan peninjauan kembali (PK) yang dikabulkan. Sebab, dalam putusan PK itu tidak ada pertimbangan hukumnya sama sekali, alasan kenapa putusan itu dikabulkan. “Dari fakta ini sangat sulit lembaga peradilan memperoleh dukungan publik.” Makanya, dirinya mencoba memberlakukan sistem kamar di MA untuk menghindari inkonsistensi dalam penjatuhan putusan. Soalnya, semua perkara yang masuk ditangani hakim agung yang memang ahli di bidangnya, sehingga diharapkan hakim agung lebih profesional. “Jadi semuanya berpulang kepada kemauan aparat peradilan ini sendiri,” tegasnya. Sementara itu, pengamat peradilan asal Belanda, Sabastian Pompe memandang kondisi reformasi peradilan sudah lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu. Misalnya, sebelumnya putusan pengadilan belum dipublikasikan dan informasi lembaga peradilan sulit diakses publik. “Jadi kalau kita lihat 10 tahun lalu, sebetulnya sudah ada kemajuan,” kata Sabastian. Ia menyarankan agar reformasi peradilan harus tetap berjalan dengan berbagai program yang sudah dicanangkan dalam cetak biru MA Tahun 2010-2035. “Ini perlu dukungan pemerintah,” katanya.

Senin, 18 Maret 2013

Himbauan Ketua Mahkamah Agung

Ketua Mahkamah Agung ( MA ) M Hatta Ali mengimbau kepada para hakim agar dalam menjatuhkan hukuman (vonis) mati bagi pelaku tindak pidana tidak boleh sembarangan. Sebab, setiap tindak pidana khusus yang membolehkan vonis mati harus memenuhi syarat ketat. Misalnya, pengedar narkoba harus terorganisir dan narkoba golongan I. “Sama halnya, hukuman mati kasus korupsi juga harus memenuhi syarat Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni dalam keadaan bencana alam dan sangat menggangu perekonomian negara. Makanya, hukuman mati jangan diobral, tetapi harus selektif betul,” kata Hatta Ali dalam Workshop Jurnalis di Hotel Novotel Bogor,(16/3).
Pernyataan ini menanggapi fakta adanya inkonsistensi hakim agung dalam menerapkan vonis hukuman mati terkait perkara-perkara narkoba yang dikategorikan berat. Seperti Majelis Pengadilan Kegeri (PN ) yang diketuai Imron Anwari pernah membatalkan vonis mati pemilik pabrik narkoba asal Surabaya Hanky Gunawan menjadi 15 tahun penjara. Namun, dalam perkara lain dia pernah menjatuhkan hukuman mati. Hatta beralasan inkosistensi dalam penjatuhan hukuman mati selain karena dipengaruhi pandangan hakim, juga lantaran suatu perkara diputus oleh majelis yang berjumlah tiga orang. Jika seorang hakim berpendapat perlu menjatuhkan hukuman mati, tetapi dua hakim tidak setuju dengan dalih hukuman mati hak Tuhan. “Jika terjadi seperti itu, seorang hakim itu harus mengalah karena hanya satu suara atau sebaliknya. Bisa saja hakim itu mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda),” kata Hatta menjelaskan.
Dia sendiri mengaku pernah dua kali menjatuhkan vonis mati terhadap pemilik pabrik ekstasi saat menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2002 dan selama menjadi hakim agung. “Kebetulan saat itu, musyawarah majelis sependapat untuk menjatuhkan vonis mati,” katanya. Namun untuk vonis mati pengedar ekstasi di PN Tangerang yang dikuatkan putusan tingkat banding dan kasasi sampai sekarang belum dieksekusi. Dia sendiri tak ingin ambil pusing karena eksekusi itu bukan urusan pengadilan lagi, tetapi kewenangan eksekutor (kejaksaan).“Saya tidak tahu sudah sejauh mana eksekusinya, yang jelas saya pernah lihat dia di televisi paranormal, mengobati narapidana dalam lembaga pemasyarakatan dan katanya banyak yang sembuh. Mungkin itu jadi pertimbangan kenapa dia belum dieksekusi mati,” ujarnya memperkirakan.
Ditegaskan Hatta Ali, penjatuhan hukuman mati tergantung perpektif (pandangan) hakim yang bersangkutan. Sebab, di kalangan hakim ada dua pendapat. Pendapat pertama setuju dengan penjatuhan hukuman mati karena secara normatif diatur dalam undang-undang. Sementara pendapat kedua, tidak setuju dengan penjatuhan vonis dengan alasan persoalan mati adalah hak mutlak Tuhan. “Apalagi dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 setiap warga negara dijamin hak untuk hidup. Jadi, sampai kapanpun sulit untuk menyatukan dua pendapat itu. Tetapi, kalau menurut saya yang penting ada hukum positifnya,” tegasnya.
Di tempat yang sama, mantan Ketua Mahkamah Agung Prof Bagir Manan mengatakan perbedaan pendapat dalam penjatuhan hukuman mati dinilai masih logis. Soalnya, kedua pendapat memiliki dasar argumentasi. “Meski beberapa undang-undang tertentu mengatur adanya ancaman hukuman mati, hakim boleh saja tidak mau menjatuhkan hukuman mati karena hakim adalah pemegang diskresi (kewenangan) untuk menjatuhkan putusan,” kata Bagir. Meski begitu, dia tak sependapat terhadap pandangan hukuman mati adalah semata hak Tuhan. Dia beralasan di beberapa negara Eropa seperti Belanda dikenal lembaga eutanasi (lembaga hak untuk mati), ketika ada seseorang tidak punya harapan hidup meminta untuk mati. “Dia lebih memilih dipercepat mati daripada hidup tersiksa,” katanya. Dia juga mencontohkan ada dua orang anak sekolah yang tertembak mati oleh seseorang. “Apa ini mati urusan Tuhan, sejak kapan penembak itu jadi Tuhan. Jadi dalil itu terlalu dogmatik, meski betul,” dalihnya.

Rabu, 27 Februari 2013

Pemeriksaan Di Washington

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menyambangi Sri Mulyani ke kantornya di Bank Dunia di Washington, Amerika Serikat. Kedatangan tim dari KPK ini untuk memeriksa Menteri Keuangan era Kabinet Indonesia Bersatu jilid I ini. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, tim penyidik yang akan memeriksa Sri Mulyani akan berangkat pada pekan depan. “Mungkin minggu depan,” katanya di gedung DPR disela-sela rapat dengan Tim Pengawas PT Bank Century Tbk,(27/2). Kesibukan Sri Mulyani yang kini menjabat sebagai Direktur Pelaksanaan Bank Dunia itu menjadi salah satu alasan tim KPK pergi ke Amerika Serikat. Sedangkan di sisi lain, KPK diburu oleh waktu penyidikan kasus. “Makanya, teman-teman penyidik buat kesimpulan untuk melakukan pemeriksaan di sana,” katanya.Dengan begitu, pemeriksaan Sri Mulyani di Amerika Serikat bertujuan untuk mempercepat proses penyidikan kasus Bank Century di KPK. Menurut Abraham, KPK telah mengirimkan pemberitahuan ke Sri Mulyani bahwa akan diperiksa tim penyidik di Amerika Serikat.
Ia mengatakan, dalam kasus ini tak tertutup kemungkinan akan ada tersangka-tersangka baru. Namun, penetapan tersangka itu harus dilandasi dengan dua alat bukti yang cukup terlebih dahulu. Atas dasar itu pula, KPK ‘ngebut’ memeriksa sejumlah saksi dalam perkara ini, termasuk pemeriksaan terhadap Sri Mulyani di Amerika Serikat.Pada kesempatan sama, anggota Tim Pengawas Century, Taufik Kurniawan menyambut baik rencana KPK yang akan memeriksa Sri Mulyani di luar negeri. Menurut dia, proses ini dilakukan KPK untuk mempercepat proses penyidikan yang tengah dilakukan lembaga antikorupsi tersebut. Ia berharap, hasil pemeriksaan Sri Mulyani di Amerika Serikat itu bisa menambah informasi dan data-data oleh KPK dalam mengungkap kasus ini. “Harapannya ada perkembangan sesuai dengan rapat tim pengawas hari ini, bahwa keputusan di Bank Indonesia adalah keputusan kolektif kolegial,” ujar Taufik.">

Usai rapat internal, Tim Pengawas Century sepakat membentuk tim kecil untuk mengklarifikasi sejumlah informasi yang beredar bahwa Anas Urbaningrum memiliki data dan informasi terkait perkara Bank Century. Menurut Taufik, tim kecil yang dipimpin Fahri Hamzah ini nantinya akan mencari kebenaran apakah benar mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu memiliki data dan informasi terbaru mengenai perkara Bank Century ini. ”Untuk menghindari politicking atau panggung politik yang tidak perlu, maka perlu diverifikasi oleh tim kecil, apakah substansi dari Pak Anas Urbaningrum itu layak atau tidak didalami,” ujar Taufik. Selain dipimpin oleh Fahri Hamzah, tim kecil ini beranggotakan dari masing-masing fraksi yang ada di DPR. Menurut Taufik, tim kecil ini akan segera melakukan tugasnya memverifikasi kebenaran informasi tersebut. Jika hasil dari tim kecil menyimpulkan tak ada informasi akurat dari Anas, maka pemanggilan tak perlu dilakukan. Anggota Tim Pengawas Centiry lainnya, Bambang Soesatyo mengatakan, salah satu substansi yang akan didalami oleh tim kecil mengenai dugaan aliran dana dalam perkara Bank Century ini. Ia menilai, apapun hasil yang akan diperoleh tim kecil, diharapkan bisa membantu KPK untuk membongkar kasus ini. Karena untuk data dan informasi lain seperti perkara Bank Century itu sendiri, Tim Pengawas Century sudah banyak memiliki bukti. Tim kecil, kata Bambang, juga tak akan menggali informasi lain selain perkara Bank Century. Jika informasi yang didapat tim kecil sudah akurat, maka pemanggilan terhadap Anas akan dilakukan Tim Pengawas. “Yang akan digali soal Century saja. Penjelasan dari Anas nanti akan jadi masukan bagi KPK dalam mendalami kasus ini,” pungkasnya.

Jumat, 22 Februari 2013

Razia Pria Bercelana Pendek

Puluhan warga di Kota Banda Aceh terjaring razia dan sosialisasi penegakan syariat Islam yang dilakukan tim gabungan di depan Taman Budaya Banda Aceh, 21/2/2013. "Pada razia dan sosialisasi yang kami laksanakan selama satu jam lebih, menjaring 43 wanita yang memakai pakaian ketat dan enam laki-laki memakai celana pendek," kata Kepala Seksi penegakan dan pelanggaran pada kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayathul Provinsi Aceh Samsuddin di Banda Aceh. Tim gabungan itu terdiri atas Polisi Satuan Pamong Praja dan Wilayathul Hisbah (Satpol PP dan WH) serta Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia. puluhan wanita dan enam pria yang terjaring razia polisi syariat itu karena melanggar peraturan daerah (qanun) nomor 11/2002 tentang aqidah, ibadah, dan syiar islam. Warga yang tidak memakai pakaian seperti yang diatur dalam qanun syariat islam itu sebelum mendapat pengarahan telah didata oleh petugas. "Semua yang terjaring telah kami data dan mereka telah menandatangani surat perjanjian tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar qanun syariat Islam," katanya. Menurutnya, pelanggar qanun syariat Islam tentang busana di kota Banda Aceh dan Aceh Besar itu hingga saat masih diberikan pengarahan namun di masa yang akan datang akan diberingan pembinaan di kantor Satpol PP dan WH. Ia juga mengatakan, selain memberikan razia dan sosialisasi di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, Petugas Wilayathul Hisbah (WH) Provinsi Aceh juga akan melaksanakan kegiatan di Kabupaten Pidie dan kabupaten/kota lainnya di daerah paling barat pulau sumatera itu. Samsuddin berharap peran serta seluruh komponen masyarakat untuk mematuhi dan mensosialisasikan peraturan tentang syariat Islam sehingga terwujud pelaksanaan secara menyeluruh (kaffah).

Kamis, 14 Februari 2013

Dakwaan Undang-Undang Lalu-Lintas

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa terdakwa kecelakaan antara BMW X5 dan Daihatsu Luxio di Tol Jagorawi, Rasyid Amrullah Rajasa dengan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Rasyid terancam hukuman penjara enam tahun dan denda Rp12 juta. "Dakwaan kami adalah dakwaan kombinasi," kata Jaksa Emilwan Ridwan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, (14/2). Menurut Emilwan, dakwaan primer yang disangkakan kepada Rasyid adalah Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Di dalam pasal itu disebutkan bahwa seorang terdakwa yang melanggar peraturan terancam hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp12 juta.Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdakwa pada, (1/1) pukul 05.45 Waktu Indonesia Barat di Jalan Tol Dalam Kota Arah Selatan Km 03.350 sampai Km 03.432 Jakarta Timur mengendarai mobil dan mengalami kecelakaan lalu lintas berat. JPU menilai kecelakaan tersebut disebabkan kelalaian terdakwa. Selain itu, jaksa juga mendakwa Rasyid dengan dakwaan subsider Pasal 310 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009."
"Dakwaan subsider terdakwa diancam dengan 10 tahun penjara dan denda Rp10 juta," kata Emilwan. Menurut JPU, terdakwa mengemudikan kendaraan bermotor dan karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan sehingga orang lain luka berat.JPU menilai karena kelalaian terdakwa mengakibatkan korban luka ringan dan kusakan kendaraan dan/atau barang yang diatur dan diamcam pidana Pasal 310 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Sebelumnya, Rasyid yang mengendarai mobil bernomor polisi B-272-HR menabrak bagian belakang mobil Luxio bernomor polisi F-1622-CY di Tol Jagorawi arah selatan KM 35.00, 1/1) sekitar pukul 05.45 Waktu Indonesia Barat. Akibat kecelakaan tersebut, lima orang terpental dari mobil yang dikendarai Frans Joner Sirait (37) hingga menewaskan Harun (57) dan M Raihan (14 bulan).
Riri Purbasari Dewi, pengacara terdakwa Rasyid Amrullah Rajasa, mengaku keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum yang menuntut kliennya dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda Rp.12 juta. "Saya keberatan dengan dakwaan itu karena peristiwa yang terjadi pada klien saya itu murni musibah, bukan kesalahan klien kami, tidak ada kesengajaan," kata Riri. Dia menilai kliennya sudah menyatakan siap bertanggung jawab kepada korbannya sehingga prosesnya seharusnya selesai.Menurut Riri,peristiwa kecelakaan itu merupakan takdir Tuhan karena setiap orang pasti mengalami musibah.

Minggu, 10 Februari 2013

Perlindungan Data Pribadi

Indonesia memerlukan regulasi terkait perlindungan data pribadi. Tambah lagi, Indonesia telah membuat Kartu Tanda Penduduk berbasis nasional atau biasa dikenal e-KTP. Karena keberadaan e-KTP memudahkan orang-orang untuk mengakses data pribadi orang lain melalui internet. Sehingga, perlindungan data dianggap mendesak dibuat. Demikian dikatakan Pakar Telekomunikasi Malaysia Abu Bakar. Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Malaya ini mengatakan keinginan untuk membuat sebuah undang-undang tentang perlindungan data pribadi itu sendiri sudah bermula sejak tahun 1999. Latar belakang munculnya pembuatan undang-undang tentang perlindungan tersebut karena faktor keamanan. Penduduk Malaysia ingin data pribadi mereka aman dari tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Apalagi Malaysia juga memiliki Identitas Nasional laiknya Indonesia. Selain hal tersebut, faktor diperlukannya perlindungan data adalah Malaysia sebagai anggota Asean Pacific Economy Countries (APEC). APEC menghendaki negara APEC memberikan perlindungan kepada data pribadi. Berdasarkan pemahaman tersebut, Malaysia segera membuat draf undang-undang yang dimulai sejak tahun 2000. Rancangan ini dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Air dan Komunikasi. Lantaran banyak pertentangan dari berbagai pihak mengenai rancangan tersebut, akhirnya konsep baru pun dibentuk. Alhasil, pemerintah Malaysia menunjuk Profesor Munir membuat konsepnya. Setelah digodok selama 2 tahun, pada 2010 Malaysia telah memiliki undang-undang mengenai perlindungan data pribadi, yaitu Personal Data Protection Act 2010. Munir pun membeberkan enam prinsip yang terkandung dalam Personal Data Protection Act 2010. Prinsip pertama adalah prinsip umum. Menurutnya, setiap negara harus mengatur mengenai hal umum, contohnya mengenai persetujuan. Artinya, pemberian data pribadi kepada pihak lain perlu mendapatkan persetujuan dari orang yang memilikinya. Prinsip kedua adalah disclosure pinciple. Prinsip ini mengatur mengenai tujuan pengumpulan data. Pengumpulan data tersebut harus spesifik. Artinya, data yang diperoleh tidak boleh digunakan untuk tujuan lain, kecuali pemilik data menyetujui si pemegang data untuk menggunakannya ke pihak lain. Munir pun mencontohkan peminjaman kredit bank. Bank memiliki kewenangan untuk menghimpun data nasabahnya untuk tujuan pemberian kredit. Namun, bank tidak dapat memberikan data tersebut kepada pihak lain untuk tujuan lain. Prinsip ketiga yang harus ada dalam perlindungan data adalahsecurity principle. Prinsip ini menghendaki perusahaan untuk melindungi data tersebut seperti dari pencurian, hack, dan kebakaran. “Intinya memastikan data tersebut aman,” ucap Munir. Namun, undang-undang di Malaysia itu tidak menentukan standard keamanannya. Undang-undang memberikan kebebasan kepada institusi dalam menentukan ukurannya. Namun, undang-undang tetap memberikan unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam keamanan tersebut, seperti jumlah data yang dikumpul, lokasi data, dan kemampuan operator. Tidak diaturnya standar ini dalam undang-undang karena Munir memperhatikan perusahaan kecil. Munir merasakan tidak adil jika perusahaan kecil juga dibebankan pengadaan sistem yang mahal, sementara data yang dimiliki masih terlalu sedikit. “Jadi, undang-undang tidak menetapkan standard tersebut,” tuturnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah prinsip retensi. Prinsip ini mengatur mengenai jangka waktu suatu data dapat dimusnahkan.
Jika data tersebut sudah digunakan sesuai dengan tujuannya, data tersebut harus segera dimusnahkan. Sedangkan prinsip lainnya adalah data yang terintegritas. Prinsip ini meminta agar setiap perusahaan memutakhirkan data. Perusahaan harus memastikan data tersebut terintegritas. Misalnya, perusahaan dapat meng-update data tersebut setiap 6 bulan atau 1 tahun sekali. Prinsip terakhir adalah akses. Undang-undang harus memberikan hak kepada individu agar mereka dapat mengakses data. Pengguna berhak mendapatkan satu salinan data mereka. ” Itu adalah kewajiban institusi untuk memberikan data kepada pemilik data,” tukasnya. Terpisah, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Gatot S Dewa Broto mengatakan Undang-Undang Perlidungan Data Pribadi belum menjadi prioritas utama dalam waktu dekat untuk dibuat. Pasalnya, regulasi perlindungan data telah di-back-up dalam Undang-Undang ITE dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Untuk itu, Gatot mengatakan Kominfo untuk sementara akan mengatur mengenai perlindungan data dalam level peraturan pemerintah. Namun ia mengaku belum tahu apa saja yang akan diatur dalam peraturan pemerintah itu.