Selasa, 05 Februari 2013

Justice Collaborator

Pengamat hukum Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul, berpendapat tersangka kasus narkoba Raffi Ahmad bisa menjadi justice collaborator untuk membongkar kasus tersebut lebih jauh lagi. "Ini agar bisa terungkap jaringan pengedar narkoba," kata kata Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Chudry sitompul, di Kampus UI Depok, (06/02). Menurut dia, sebagai pengguna atau korban seharusnya mendapat rehabilitasi. "Rehabilitasi juga merupakan hukuman, kalau dipenjara lagi jadi dobel hukuman," ujarnya. Ia mengemukakan yang harus dikejar dalam kasus itu adalah para pengedar dan diberikan hukuman yang sesuai dengan hukuman yang berlaku. "Badan Narkotika Nasional (BNN) harus ungkap secara transparan kasus ini agar masyarakat tidak bertanya-tanya," ujarnya. Ia mengatakan bahwa rehabilitasi sudah diatur di dalam undang-undang, tinggal bagaimana keberanian penegak hukum mengimplementasikannya. Diingatkan dia, sambil diikuti dengan moral "hazard" dari penegak hukum. Jangan sampai terjadi jual beli hukuman ini (rehab). Dikatakannya, yang harus dikejar adalah pengedarnya.
Bahkan, ancaman hukuman minimal empat tahun bagi pengedar dinilai sangat ringan. Lebih lanjut, dia mengatakan mulanya pengedar narkotik membuat komunitas dan membagikan barang-barang itu. Setelah itu lanjutnya(kecanduan) barulah mereka mulai cari sendiri barang haram tersebut. Dia setuju dengan pendapat yang mencuat bahwa pengedar harus ditembak mati. Bahkan, di Singapura juga dilakukan hal yang sama. "Akan tetapi, harus benar-benar terbukti bahwa dia adalah pengedar," kata Ketua Jurusan Praktik Hukum UI itu. Sementara itu, jaksa dari Kejaksaan Agung Narendra Jatna menambahkan ketarangan bahwa mulai saat ini masyarakat dan penegak hukum harus mengubah pola pikir. "Jangan selalu menghakimi pengguna narkoba. Pengguna tidak harus dihukum (pidana), tetapi harus direhab. Namun, banyak masyarakat maunya mereka dihukum," katanya. Dosen Luar Biasa FHUI itu mengatakan bahwa pola pikir lama itu membuat pengguna takut mendatangi pusat rehabilitasi secara sukarela, karena takut menjadi pesakitan.