Senin, 25 Maret 2013

Kepercayaan Publik Terhadap Badan Peradilan

Kepercayaan publik terhadap pelaksanaan reformasi badan peradilan yang tengah bergulir sejak awal tahun 2000-an dinilai masih lemah. Hal ini disebabkan masih banyak ditemukan putusan pengadilan yang dinilai aneh dan menimbulkan kecurigaan di masyarakat, sehingga dukungan publik terhadap reformasi peradilan pun menjadi lemah. “Setelah melaksanakan reformasi peradilan lebih dari 12 tahun, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan masih lemah, meski lebih baik ketimbang zaman orde lama dan orde baru,” kata mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Refleksi dan Arah Pembaruan Peradilan Indonesia’ di Jakarta, (25/3).
Arman, demikian ia biasa disapa, mengatakan, berbagai putusan aneh itu dapat memunculkan kecurigaan adanya motif korupsi di balik penjatuhan putusan itu. Mahkamah Agung ( MA ) seharusnya segera menyikapi persoalan ini dengan cara mengoptimalkan fungsi pengawasan dan pembinaan. Dia meminta putusan yang dijatuhkan karena motif koruptif harus dibongkar dan ditindak tegas dengan seluruh jaringannya. Sedangkan untuk putusan aneh yang diakibatkan kurangnya penguasaan terhadap substansi hukum harus diatasi dengan berbagai pelatihan atau kursus “Ini usaha yang never ending,” kata Abdul Rahman. Menurutnya, lemahnya dukungan publik bukan hal yang menentukan terhadap misi reformasi peradilan untuk mewujudkan peradilan yang profesional, jujur dan imparsial. Sebab, ‘publik’ itu tidak homogen atau seragam yang mempunyai banyak kepentingan lain. Meski begitu, adanya dukungan publik akan lebih memudahkan jalannya reformasi peradilan. “Kita semua mengharapkan agar peran media massa akan terus mendorong, menjaga, dan mengawal pembaruan peradilan, meski kita sadar media kadangkala terkotak-kotak dalam warna politik tertentu,” kata Arman yang juga mantan hakim agung ini. Karenanya, MA harus terus membuka diri terhadap masukan segar yang membangun dari pihak luar. MA pun harus melibatkan diri diskursus besar, masif dan berskala nasional dalam mendorong reformasi peradilan guna mewujudkan peradilan yang bersih, jujur, adil dan berwibawa terutama melalui landmark decision (putusan penting). “Ini dibutuhkan kerja dan tekad yang tidak ada akhirnya agar keadaan dunia peradilan semakin membaik. Ikhtiar bersama untuk tetap menjaga peradilan yang bersih harus tetap dirawat,” sarannya.
Di acara yang sama, mantan Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan dukungan publik terhadap jalannya reformasi peradilan harus diperjuangkan oleh para aparat peradilan sendiri. “Dukungan publik itu tidak bisa datang sendiri tanpa ada upaya para hakim sendiri,” katanya. Menurutnya, untuk meraih dukungan publik ini yang pertama dilakukan para hakim harus menjaga integritas dan perilakunya yang diwujudkan dengan sikap yang bersih, jujur, adil, dan profesional. Sebab, sikap bersih dan jujur ini masih menjadi barang langka di lembaga peradilan. Independensi hakim dinilai belum sepenuhnya terwujud karena masih ada hakim yang masih menerima suap terkait perkara yang ditangani. Kalau sikap ini bisa dilakukan seluruh aparat peradilan, saya kira dukungan publik akan datang sendirinya,” kata Harifin.
Dia menceritakan saat masih menjabat sebagai ketua MA, ada laporan dari masyarakat yang memprotes sebuah putusan peninjauan kembali (PK) yang dikabulkan. Sebab, dalam putusan PK itu tidak ada pertimbangan hukumnya sama sekali, alasan kenapa putusan itu dikabulkan. “Dari fakta ini sangat sulit lembaga peradilan memperoleh dukungan publik.” Makanya, dirinya mencoba memberlakukan sistem kamar di MA untuk menghindari inkonsistensi dalam penjatuhan putusan. Soalnya, semua perkara yang masuk ditangani hakim agung yang memang ahli di bidangnya, sehingga diharapkan hakim agung lebih profesional. “Jadi semuanya berpulang kepada kemauan aparat peradilan ini sendiri,” tegasnya. Sementara itu, pengamat peradilan asal Belanda, Sabastian Pompe memandang kondisi reformasi peradilan sudah lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu. Misalnya, sebelumnya putusan pengadilan belum dipublikasikan dan informasi lembaga peradilan sulit diakses publik. “Jadi kalau kita lihat 10 tahun lalu, sebetulnya sudah ada kemajuan,” kata Sabastian. Ia menyarankan agar reformasi peradilan harus tetap berjalan dengan berbagai program yang sudah dicanangkan dalam cetak biru MA Tahun 2010-2035. “Ini perlu dukungan pemerintah,” katanya.