Senin, 18 Maret 2013

Himbauan Ketua Mahkamah Agung

Ketua Mahkamah Agung ( MA ) M Hatta Ali mengimbau kepada para hakim agar dalam menjatuhkan hukuman (vonis) mati bagi pelaku tindak pidana tidak boleh sembarangan. Sebab, setiap tindak pidana khusus yang membolehkan vonis mati harus memenuhi syarat ketat. Misalnya, pengedar narkoba harus terorganisir dan narkoba golongan I. “Sama halnya, hukuman mati kasus korupsi juga harus memenuhi syarat Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni dalam keadaan bencana alam dan sangat menggangu perekonomian negara. Makanya, hukuman mati jangan diobral, tetapi harus selektif betul,” kata Hatta Ali dalam Workshop Jurnalis di Hotel Novotel Bogor,(16/3).
Pernyataan ini menanggapi fakta adanya inkonsistensi hakim agung dalam menerapkan vonis hukuman mati terkait perkara-perkara narkoba yang dikategorikan berat. Seperti Majelis Pengadilan Kegeri (PN ) yang diketuai Imron Anwari pernah membatalkan vonis mati pemilik pabrik narkoba asal Surabaya Hanky Gunawan menjadi 15 tahun penjara. Namun, dalam perkara lain dia pernah menjatuhkan hukuman mati. Hatta beralasan inkosistensi dalam penjatuhan hukuman mati selain karena dipengaruhi pandangan hakim, juga lantaran suatu perkara diputus oleh majelis yang berjumlah tiga orang. Jika seorang hakim berpendapat perlu menjatuhkan hukuman mati, tetapi dua hakim tidak setuju dengan dalih hukuman mati hak Tuhan. “Jika terjadi seperti itu, seorang hakim itu harus mengalah karena hanya satu suara atau sebaliknya. Bisa saja hakim itu mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda),” kata Hatta menjelaskan.
Dia sendiri mengaku pernah dua kali menjatuhkan vonis mati terhadap pemilik pabrik ekstasi saat menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2002 dan selama menjadi hakim agung. “Kebetulan saat itu, musyawarah majelis sependapat untuk menjatuhkan vonis mati,” katanya. Namun untuk vonis mati pengedar ekstasi di PN Tangerang yang dikuatkan putusan tingkat banding dan kasasi sampai sekarang belum dieksekusi. Dia sendiri tak ingin ambil pusing karena eksekusi itu bukan urusan pengadilan lagi, tetapi kewenangan eksekutor (kejaksaan).“Saya tidak tahu sudah sejauh mana eksekusinya, yang jelas saya pernah lihat dia di televisi paranormal, mengobati narapidana dalam lembaga pemasyarakatan dan katanya banyak yang sembuh. Mungkin itu jadi pertimbangan kenapa dia belum dieksekusi mati,” ujarnya memperkirakan.
Ditegaskan Hatta Ali, penjatuhan hukuman mati tergantung perpektif (pandangan) hakim yang bersangkutan. Sebab, di kalangan hakim ada dua pendapat. Pendapat pertama setuju dengan penjatuhan hukuman mati karena secara normatif diatur dalam undang-undang. Sementara pendapat kedua, tidak setuju dengan penjatuhan vonis dengan alasan persoalan mati adalah hak mutlak Tuhan. “Apalagi dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 setiap warga negara dijamin hak untuk hidup. Jadi, sampai kapanpun sulit untuk menyatukan dua pendapat itu. Tetapi, kalau menurut saya yang penting ada hukum positifnya,” tegasnya.
Di tempat yang sama, mantan Ketua Mahkamah Agung Prof Bagir Manan mengatakan perbedaan pendapat dalam penjatuhan hukuman mati dinilai masih logis. Soalnya, kedua pendapat memiliki dasar argumentasi. “Meski beberapa undang-undang tertentu mengatur adanya ancaman hukuman mati, hakim boleh saja tidak mau menjatuhkan hukuman mati karena hakim adalah pemegang diskresi (kewenangan) untuk menjatuhkan putusan,” kata Bagir. Meski begitu, dia tak sependapat terhadap pandangan hukuman mati adalah semata hak Tuhan. Dia beralasan di beberapa negara Eropa seperti Belanda dikenal lembaga eutanasi (lembaga hak untuk mati), ketika ada seseorang tidak punya harapan hidup meminta untuk mati. “Dia lebih memilih dipercepat mati daripada hidup tersiksa,” katanya. Dia juga mencontohkan ada dua orang anak sekolah yang tertembak mati oleh seseorang. “Apa ini mati urusan Tuhan, sejak kapan penembak itu jadi Tuhan. Jadi dalil itu terlalu dogmatik, meski betul,” dalihnya.