Jumat, 21 Desember 2012

Ironi Penegakan Hukum

Proses penegakan hukum dalam kejahatan narkotika mengandung sebuah ironi. Bayangkan, seorang pelaku kejahatan narkotika yang dikategorikan pecandu dan korban penyalahgunaan bisa menghindar dari hukuman penjara, dan hanya menjalani rehabilitasi. Sedangkan seseorang yang hanya karena tidak melaporkan tindak pidana narkotika ke polisi bisa mauk penjara.

Padahal, saksi yang tak melaporkan kasus narkotika mungkin orang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tindak pidana itu. Mungkin juga orang yang tahu ada tindak pidana tetapi tidak berani melapor karena alasan tertentu. Bagaimana mungkin pemakai narkotika tak dihukum penjara, sedangkan orang yang tak terlibat sama sekali bisa terancam pidana penjara satu tahun dan denda maksimal 50 juta rupiah.

“Itu sebuah ironi,” kata AKBP Djumadi R, Kanit II Direktorat Narkoba Bareskrim Mabes Polri, di sela-sela seminar ‘Penerapan Diversi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika oleh Aparat Penegak Hukum’ di Jakarta, (19/12).

Pasal 131 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengancam siapapun yang tak melaporkan tindak pidana narkotika ke aparat penegak hukum. Sebaliknya, pasal 54 Undang-Undang ini mewajibkan tindakan rehabilitasi medis dan sosial terhadap pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. “Pecandu harus diselamatka dari pengaruh buruk narkotika,” kata Jaksa Agung Basrief Arief, saat membuka acara tersebut.
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik fisik maupun psikis. Korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.

Pendekatan pemberantasan

Menurut Djumadi, polisi masih tetap punya pendekatan pemberantasan narkotika. Apalagi jumlah pengguna narkotika terus meningkat. Kajian Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia malah memperkirakan ada 5,1 sampai 5,6 juta orang pengguna narkotika pada 2015 mendatang. Jumlah perkara narkotika yang ditangani kepolisian setiap tahun juga di atas 20 ribu sejak tahun 2007 silam. “Penyidik tetap memperlakukan pecandu narkotika sebagai pelaku tindak pidana,” tegas Djumadi.

Kondisi itu pula yang dikhawatirkan Kabareskrim Mabes Polri, Irjen (Pol) Sutarman. Saat pemusnahan barang bukti sabu 215 kilogram di lapangan Bhayangkara Mabes Polri, kemarin, Sutarman mengkhawatirkan dampak penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. “Bisa kita bayangkan berapa banyak generasi muda yang rusak”. Tahun ini, hingga Nvember, saja Mabes Polri sudah menangani 26.561 kasus narkoba dengan 32.892 orang tersangka.

 
Mabes Polri menggunakan pendekatan pemberantasan, terutama terhadap pelaku penyelundupan narkotika lintas negara. Perbuatan ini, kata dia, tak bisa ditoleransi. Aparat kepolisian diminta bertindak tegas sesuai koridor hukum. "Saya sudah instruksikan kepada seluruh personil yang menangani kasus narkoba untuk mengambil langkah yuridis, dan bisa dipertanggungjawabkan dan teknisnya benar dia melakukan tindakan tegas," pungkasnya.
Di tengah pendekatan pemberantasan itu, polisi tak menampik kemungkinan diversi atau rehab kepada pecandu narkotika. Djumadi mengakui banyak keluarga korban yang meminta kepada polisi agar tersangka narkotika direhabilitasi saja, dan perkaranya tak diteruskan ke pengadilan. “Tapi, banyak yang kami tolak,” ujarnya.