Sabtu, 29 Desember 2012

Korupsi Semakin Marak Di Tahun 2013

ICW memprediksi tahun depan akan marak terjadi kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik. Alasannya, kata Peneliti Korupsi Politik ICW Apung Widadi, tahun depan sudah masuk tahapan pemilu tahun 2014.
"Juni-Juli sudah masuk tahapan pemilu, maka 2013 jadi tahun rawan menjelang pemilu 2014," katanya saat menyampaikan Outlook Korupsi Politik 2013 di Jakarta, (28/12).
Menurut Apung, beberapa kasus korupsi politik yang akan marak menyangkut mafia anggaran seperti proyek-proyek besar dari APBN dan alokasi dana transfer ke daerah yang rawan dipolitisasi. Bukan hanya itu, kader-kader partai yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif akan berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi agar pencalonan berikutnya tak menemui hambatan.




"Pendanaan partai politik menjelang pemilu 2014 membutuhkan dana yang sangat besar untuk biaya kampanye baik legislatif maupun presiden. Disinyalir, proyek-proyek besar dan siluman seperti BLBI, Century dan Hambalang akan muncul," tutur Apung.
Ia tak menampik terjadinya korupsi politik karena terdapat kelemahan pada regulasi UU Partai Politik dan UU Pemilu. Seperti, tidak adanya pengaturan larangan penggunaan dana berasal dari hasil kejahatan, tidak adanya pembatasan sumbangan dari kader anggota partai, tidak ada ketentuan larangan penyumbang fiktif dan hanya rekening saja yng dilaporkan dan dimonitor, sementara sumbangan di luar rekening yang dilaporkan tak terpantau sama sekali.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan mengatakan, hal ini bukanlah ramalan. Melainkan analisa ICW yang berdasarkan dari data-data korupsi politik yang diperoleh pada tahun 2012. Menurutnya, korupsi politik terjadi karena akan lebih bersifat transaksional untuk kepentingan pemilu dan dana APBN akan menjadi arena perburuan untuk modal politik tersebut. "Korupsi politik akan semakin masif, tahun kritis, karena waktu membela kepentingan rakyat sepertinya akan berkurang," ujarnya.
Peneliti Tranparency International Indonesia (TII) Ibrahim Fahmi Badoh mengatakan, aktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi politik tak hanya dari kalangan anggota dewan saja. Menurut dia, para birokrat dan pebisnis juga mempengaruhi terjadinya korupsi politik. Ia mengatakan, akan banyak implikasi jika korupsi politik terjadi.
Seperti, terjadinya perencanaan anggaran yang buruk atau pemborosan penggunaan anggaran negara, pertumbuhan ekonomi bergantung pada konsumsi pemerintah, penguatan bisnis di ranah politik, integritas parlemen menurun, bantuan sosial dan bantuan politik proyek menjadi belanja politik di daerah serta memperlemah aparat penegak hukum, seperti KPK. "Setiap menjelang pemilu indeks persepsi korupsi akan menurun, serangan ke penegak hukum seperti KPK akan meningkat. Ini semua tantangan menjelang pemilu," ujar Badoh.

Sepanjang tahun 2012, ICW mencatat terdapat 52 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi. Dari jumlah itu, kader partai terbanyak yang terlilit kasus korupsi berasal dari Partai Golkar dengan jumlah 14 orang. Lalu disusul Partai Demokrat sebanyak 10 kader, PDIP dan PAN masing-masing delapan kader, PKB empat kader, PKS dua kader, Gerindra tiga kader, PPP dua kader dan tidak teridentifikasi satu orang.
Untuk tingkat jabatan, kata Apung, anggota DPR dan DPRD terbanyak menjadi tersangka korupsi dengan jumlah 25 orang. Kasus-kasus korupsi ini ditangani oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Sedangkan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi berjumlah 24 orang. Sama dengan anggota dewan, kasus-kasus korupsi yang melilit para kepala daerah ini ditangani oleh ketiga lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia.
Menurut Apung, kasus-kasus korupsi yang dilakukan para kader partai politik itu bertujuan untuk penggunaan anggaran politiknya. Anggaran ini nantinya digunakan untuk kepentingan pencalonan kembali sebagai kepala daerah atau anggota legislatif. "Banyak pelaku dari partai politik mencoba untuk menggerus dana untuk anggaran politiknya," ujar Apung.